Selasa, 02 Juli 2013

kesulitan menulis

  sulit merangkai kata tuk temukan makna yang sesuai dengan apa yang ingin di ungkapkan oleh akal ini, atau mungkin sebenarnya hati dan akal ini memang sedang tidak mau mengungkapkan apapun, namun keinginan memaksanya untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak ada dengan tulisan, sehingga akal dan hati ini mengarang suatu perasaan yang sebenarnya tidak ingin mereka rasakan, itulah yang disebut dengan pemaksaan kreatifitas,
   aku yakin para penulis pernah merasakanya atau bahkan mereka tidak menyadarinya, kalo g' salah pernah aku mendapatkan pengarahan dari seorang penulis ternama yang bila disebut namanya semua penggila novel pasti tahu, ya benar si pengarang buku yang sering menuliskan kata-kata "tereliye" di setiap bukunya, dia berkata bahwa ketika kita ingin menjadi penulis handal maka tulislah apa yang ada di fikiranmu sekarang, wah kalo emang baru g'ada ya mau nulis apa hehehehey................... ya nulis apa adanya yang penting nulis..............
   jadi intinya kalau kita mau nulis g' usah di paksa-paksain ampe setres silahkan tulis saja apa yang ada di fikiran dan hati kamu jika tidak ada maka tulislah tidak ada, yang penting adalah pembiasaan terhadap dirimu untuk menulis sesuatu,............ semoga bermanfaat :)

Makalah tentang LANGKAH-LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK

LANGKAH-LANGKAH
PEMBINAAN AKHLAK



Dosen Pembimbing:
Drs. Nurhidayat, M. Ag.

Disusun Oleh:
Widayati                                 NIM : 09480077
Lailatul Munawwaroh           NIM: 12480044
Eni Yulianti                            NIM: 12480045
Galuh Sandra Pangesti                    NIM: 12480057
Nisfi Anisah                            NIM: 12480070
KELAS B

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan barokah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tugas mata kuliah Akhlak dan Tasawuf yang berjudul “Pembinaan Aklhak berdasarkan Akhlak dan Tasawuf” ini dengan lancar dan tepat waktu. Tidak lupa, shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad Saw. yang telah melepaskan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
            Kami ucapkan terima kasih pula kepada Bapak Drs. Nurhidayat, M. Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah Akhlak dan Tasawuf kami, yang telah membimbing dan menuntun kami, sehingga bertambah luaslah pengetahuan kami tentang Akhlak dan Tasawuf, terutama mengenai “Langkah-langkah Pembinaan Akhlak.”
            Makalah yang kami susun ini, berisi mengenai penjabaran dari hakikat pembinaan akhlak, hingga langkah-langkah pembinaan akhlak secara terperinci. Di dalamnya, kami sisipkan pula contoh-contohnya dan pengaruhnya langsung terhadap kehidupan sehari-hari umat manusia. Kami berharap agar pembaca lebih memahami dengan mudah dan fleksibel.
            Tak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca yang budiman untuk mencapai kesempunaan makalah kami.

Yogyakarta,   November 2012

                                                                                                        Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A.    Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf.......................................................... 2
B.     Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak........................................................ 2
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 16           
A.    Kesimpulan............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17











BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kemajuan materi yang dirasakan umat manusia ternyata tidak menjamin kebahagiaan hidup. Bahkan fakta berbicara bahwa kegaulan hidup dan kekeringan jiwa menjadi fenomena yang menjamur di mana-mana.
Orientasi manusia saat ini lebih mengedepankan alam materi, menjadikan mereka ibarat robot yang otaknya terperas hanya demi uang. Sementara kebutuhan rohani berupa pengajaran agama, tarbiyah, dan tazkiyah, bagi jiwa seakan tidak mendapat porsi dalam segenap waktu yang dimilikinya. Padahal kedua hal tersebut merupakan inti utama dalam pembinaan akhlak. Semakin berkurang pembinaan akhlak terhadap diri manusia maka semakin merosot akhlaknya.
Dewasa ini banyak orang mulai sadar akan pemenuhan kebutuhan siraman rohani. Mereka mulai gencar mengkaji Islam, membina akhlak bangsa dengan menyuarakan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta anti pornografi dan porno aksi. Semua ini dilakukan demi mengangkat harkat, martabat, dan moral bangsa Indonesia sehingga terwujud bangsa yang berakhlakul karimah.
Namun demikian kesadaran tersebut baru pada dataran wacana, belum ada konsep yang komprehensif pada pembinaan akhlak yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu gerakan yang masal. Dalam sejarah umat Islam, akhlak tasawuf telah membuktikan kesuksesannya pada pembinaan akhlak mulia dalam rentang waktu yang panjang.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apakah hakikat pembinaan akhlak tasawuf itu?
2.    Bagaimanakah langkah-langkah dari pembinaan akhlak tasawuf?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dikukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakikatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilahTazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah, dan Halaqah Tarbawiyah.[1]

B.       Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah. [2]
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah.[3]
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga…” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:

1.      Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih.[4]
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab).
Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah mendapatkannya. [5]


2.      Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat.[6] Dengan kata lain muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang artinya berikut ini:
  1. “…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
  2. “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
  3. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
  4. Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.[7]
3. Muhasabah (Intropeksi)
a. Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
b. Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”[8]
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.  
4. Mu’aqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya.[9]
5.      Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.[10]
6. Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mujahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.[11]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.        Dalam hakikat pembinaan akhlak terdapat tiga hakikat, yaitu: Tazkiyah al-Nasf, Tarbiyah Dzatiyah, dan Halaqah Tarbawiyah, yang masing-masing di antaranya memiliki pengertian, sarana untuk mewujudkannya, dan buah hasil realisasinya.
2.        Langkah-langkah pembinaan akhlak, antara lain:
a.    Musyarathah
b.    Muraqabah
c.    Muhasabah
d.   Mu’aqabah
e.    Mujahadah
f.     Mu’atabah.










DAFTAR PUSTAKA


Amatullah Amstrong,1996. Khasanah Istilah Sufi( Kunci memasuki dunioa tasawuf) Bandung: Miuzan

Khoiri, Alwin dkk. 2005. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Said Hawa, Al2004. -Mustakhlas fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 , Terj.Annur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta: Rabani Press

Salma al-Itsari. http://dear.to/abusalma
Syaikh Yusuf Muhammad al-Hasan. Pendidikan Anak Dalam Islam. E-book. Maktabah Abu
zainalabidindalimunthe.blogspot.com/2010/11/pembinaan akhlak.html




[1] Khoiri Alwan. Akhlak Tasawuf. ( Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.2005) hal. 151
[2] Ibid .161
[3] Ibid 162
[4] Said Hawa, Al-Mustakhlas fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 , Terj.Annur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta: Rabani Press, 2004, hal 134
[5] Ibid 164
[6] Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi( Kunci memasuki dunioa tasawuf) Bandung: Miuzan, 1996, hal 197
[7] Khoiri Alwan. Akhlak Tasawuf. ( Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.2005) hal. 169
[8] Ibid 170
[9] Ibid 173
[10] Ibid 175
[11] Ibid 175