LANGKAH-LANGKAH
PEMBINAAN AKHLAK
Dosen
Pembimbing:
Drs.
Nurhidayat, M. Ag.
Disusun
Oleh:
Widayati NIM
: 09480077
Lailatul
Munawwaroh NIM: 12480044
Eni
Yulianti NIM: 12480045
Galuh
Sandra Pangesti NIM: 12480057
Nisfi
Anisah NIM: 12480070
KELAS
B
PRODI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji dan syukur kami panjatkatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan barokah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
tugas mata kuliah Akhlak dan Tasawuf yang berjudul “Pembinaan Aklhak
berdasarkan Akhlak dan Tasawuf” ini dengan lancar dan tepat waktu. Tidak lupa,
shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad
Saw. yang telah melepaskan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang.
Kami ucapkan
terima kasih pula kepada Bapak Drs. Nurhidayat, M. Ag. selaku dosen pembimbing
mata kuliah Akhlak dan Tasawuf kami, yang telah membimbing dan menuntun kami,
sehingga bertambah luaslah pengetahuan kami tentang Akhlak dan Tasawuf,
terutama mengenai “Langkah-langkah Pembinaan Akhlak.”
Makalah yang kami
susun ini, berisi mengenai penjabaran dari hakikat pembinaan akhlak, hingga
langkah-langkah pembinaan akhlak secara terperinci. Di dalamnya, kami sisipkan
pula contoh-contohnya dan pengaruhnya langsung terhadap kehidupan sehari-hari
umat manusia. Kami berharap agar pembaca lebih memahami dengan mudah dan
fleksibel.
Tak ada gading
yang tak retak. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca
yang budiman untuk mencapai kesempunaan makalah kami.
Yogyakarta, November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
A.
Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf.......................................................... 2
B.
Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak........................................................ 2
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 16
A.
Kesimpulan............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemajuan materi yang dirasakan umat manusia ternyata tidak menjamin
kebahagiaan hidup. Bahkan fakta berbicara bahwa kegaulan hidup dan kekeringan
jiwa menjadi fenomena yang menjamur di mana-mana.
Orientasi manusia saat ini lebih mengedepankan alam materi,
menjadikan mereka ibarat robot yang otaknya terperas hanya demi uang. Sementara
kebutuhan rohani berupa pengajaran agama, tarbiyah, dan tazkiyah, bagi jiwa
seakan tidak mendapat porsi dalam segenap waktu yang dimilikinya. Padahal kedua
hal tersebut merupakan inti utama dalam pembinaan akhlak. Semakin berkurang
pembinaan akhlak terhadap diri manusia maka semakin merosot akhlaknya.
Dewasa ini banyak orang mulai sadar akan pemenuhan kebutuhan
siraman rohani. Mereka mulai gencar mengkaji Islam, membina akhlak bangsa
dengan menyuarakan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta anti pornografi
dan porno aksi. Semua ini dilakukan demi mengangkat harkat, martabat, dan moral
bangsa Indonesia sehingga terwujud bangsa yang berakhlakul karimah.
Namun demikian kesadaran tersebut baru pada dataran wacana, belum
ada konsep yang komprehensif pada pembinaan akhlak yang kemudian diadopsi oleh
pemerintah sebagai suatu gerakan yang masal. Dalam sejarah umat Islam, akhlak
tasawuf telah membuktikan kesuksesannya pada pembinaan akhlak mulia dalam
rentang waktu yang panjang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah hakikat pembinaan akhlak tasawuf itu?
2.
Bagaimanakah langkah-langkah dari pembinaan akhlak tasawuf?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang
harus dikukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain
maupun pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada
hakikatnya pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang
dilakukan seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan
perilakunya terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri
dapat dikenal dengan istilahTazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah, dan Halaqah
Tarbawiyah.
B.
Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada
Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk
senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia.
Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan
Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini
lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah
al-Nafs dan Halaqah
Tarbawiyah.
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil
langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah,
musyarathah, mujahadah dan mu’tabah,
dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.
Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi
mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai
tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul
muraqabah (muraqabah secara
benar), muthalabatun nafsi
(menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap
jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum
dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan
yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa
yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama
penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya
kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan
mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali
ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar
bersabar dan bersiap siaga (murabathah).
FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga…” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka
terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat),
kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah
dan mu’atabah. Inilah
yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah
al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya
sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan
erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh.
Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety
net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan
keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut
terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
1. Musyarathah
(Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan
suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi
perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan.
Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan
harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula
akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan
keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal
shalih.
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila
dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana
pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya.
Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan
sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab).
Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat
kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat,
mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan
tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia
mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal.
Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang
ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga
firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul
munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat
hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang
memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina
bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti
lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya,
memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya.
Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh
maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya
sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada
sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada
jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka
habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan
mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu)
kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia
itu. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya
Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.”
Seandainya jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia,
maka janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang
tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh
empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan
hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan
tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin
sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.
2. Muraqabah
(Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan
kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini
diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan
imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya
sendiri dengan cermat.
Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk
menghadirkan muraqabatullah
dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri
seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah
mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi
dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
- “…Dan Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya
dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
- “Dan pada sisi Allahlah
kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
(QS. Al-An’am ayat 59).
- (Luqman berkata): “Hai
anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
- Kemudian dalam HR. Ahmad,
Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya
Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi
hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan
melahirkan ma’iyatullah
(kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah
ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat
cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula
pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang
tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”. Kemudian
akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran
akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni ketika beliau diseret dan dibakar
di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari
api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan
makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan
syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah
selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal
perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti
akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya.
Tentang keutamaan muraqabah,
Jibril ‘alaihi salam
pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits
selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya,
sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim
di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang
mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap
diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian
sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang
memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia
bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang
demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya,
meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah
ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima
hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak
disertai kelalaian, muraqabatullah
ta’ala dalam sunyi dan
keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan
memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas
dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan
muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat,
perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia
duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis
adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di
atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu
masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga
adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam
ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah
dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai
cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya
ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam
hal yang mubah, maka muraqabah-nya
ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan
yang didapat dan mensyukurinya.
Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak
terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang
harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah.
Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah
kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau
anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan
Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan
kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap
ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang
harus dijaga dengan senantiasa muraqabah:
“Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah
berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba
harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika
telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan
maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput
mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia
adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai
keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian
dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
3. Muhasabah (Intropeksi)
a. Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut
keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah
juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa
banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah,
orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan
paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga
Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah
adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu
yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid
sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat
bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha
ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah
bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut
mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya
dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam
agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah
dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
b. Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah
isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh
karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan
timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana
dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat
adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW
bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada
Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”
(QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan
cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang
telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang
hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras
ketimbang muhasabahnya
terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi
dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi
orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat
pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk
mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan,
sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah
keutamaan muhasabah.
4. Mu’aqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi
diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum
atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan
ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan
dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau
diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur
berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa
ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat
Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk
keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika
beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung
terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya,
subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia
tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan
dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia
mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya
menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini
merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan
sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa
lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata
dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum
dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya
tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai
kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti
setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas
terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak,
istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran
mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan
mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia
membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti
jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa
kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat
kenikmatan abadi yang tiada ujungnya.
5. Mujahadah
(Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan
mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni
Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena
ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya.
Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada
dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran
selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan
pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam
ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena
terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang
lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan
syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia
berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia
menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari
kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para
shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai
mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan
malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah
dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka
bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air
mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila
dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan
jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga
mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
6. Mu’atabah (Mencela
Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini
adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol
dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mujahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh
bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia
diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada
kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan,
meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan,
dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai
kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga
manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa
mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk
bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang
tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang
ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk
mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika
ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”
(QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi
mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah
manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi:
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka
berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka
suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan
mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam
keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat
kepada Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan
mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap diri)
dan munajat berarti ia
tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dalam hakikat pembinaan akhlak terdapat tiga hakikat, yaitu:
Tazkiyah al-Nasf, Tarbiyah Dzatiyah, dan Halaqah Tarbawiyah, yang masing-masing
di antaranya memiliki pengertian, sarana untuk mewujudkannya, dan buah hasil
realisasinya.
2.
Langkah-langkah pembinaan akhlak, antara lain:
a.
Musyarathah
b.
Muraqabah
c.
Muhasabah
d.
Mu’aqabah
e.
Mujahadah
f.
Mu’atabah.
DAFTAR PUSTAKA
Khoiri, Alwin
dkk. 2005. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Syaikh
Yusuf Muhammad al-Hasan. Pendidikan Anak Dalam Islam. E-book. Maktabah Abu
zainalabidindalimunthe.blogspot.com/2010/11/pembinaan
akhlak.html